PENERAPAN
BUDAYA POSITIF
DI
SMA NEGERI 1 PASIE RAJA
OLEH
ELISYA SOVIA, S.Pd.,Gr
CGP-4 Kab. Aceh Selatan
A.
Perubahan Paradigma
Budaya positif merupakan nilai-nilai ataupun keyakinan yang dilakukan terus
menerus sehingga menjadi kebiasaan, kebiasaan yang berpihak pada murid agar
peserta didik dapat berkembang menjadi pribadi yang memiliki karakter kritis,
santun dan penuh hormat serta bertanggung jawab. Budaya positif juga salah satu
materi yang diajarkan dalam pendidikan guru penggerak. Materi ini sangat
penting karena aksi nyata yang diterapkan langsung berhubungan dengan anak
didik setiap harinya. Dengan budaya positif anak didik dapat mengembangkan
potensi anak agar memiliki karakter yang kuat sebagaimana pelajar profil
Pancasila.
Untuk membangun
budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman,
dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan
merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu
ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di
sekolah-sekolah kita. Paparan Dr.
William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi
tentang kontrol:
Didalam teori Stimulus-Respon lawan Teori Kontrol:
Pandangan tentang Dunia, Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991)
mengatakan bahwa, “..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan,
sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin
memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita.
Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia,
ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu
tentang realitas”.
Contoh penerapan perubahan
paradigma yaitu guru berusaha memahami karakteristik yang dimiliki pesera didik
yang diwujudkan dengan perbedaan strategi belajar yang dilakukan pada
masing-masing kelas,
B.
Konsep Disiplin Positif dan
Motivasi
Bapak Pendidikan
kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “dimana ada kemerdekaan, disitulah
harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self
discipline” yaitu kita sendiri yang
mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau
kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin
diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang
merdeka. (Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,
Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470).
Pemikiran Ki Hajar
ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School
Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari
bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga
berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut. Untuk
menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan
mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi
yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Dengan kata lain, seseorang yang memiliki
disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai
kebajikan universal. Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak
yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu
pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan
ekstrinsik.
Tujuan dari
disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada muridmurid kita
yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri
dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki
motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak
jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau
hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai
kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai
yang mereka hargai.
Sebagai contoh
sikap disiplin positif yang dilakukan di SMA Negeri 1 Pasie Raja adalah
menumbuhkan kesadaran peserta didik akan pentingnya kebersihan lingkungan
sekolah sebagai tanggung jawab bersama melalui gotong royong yang dilakukan
setiap hari sabtu.
C.
Keyakinan Kelas, Hukuman, dan
Penghargaan
Keyakinan Kelas Untuk mendukung motivasi intrinsik,
kembali ke nilai-nilai/keyakinan-keyakinan
lebih menggerakkan seseorang dibandingkan mengikuti serangkaian peraturan-peraturan.
Ket: Mewujudkan
salah satu keyakinan kelas tentang kelas yang bersih dan nyaman
D.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar
1.
Cinta dan kasih sayang
(Kebutuhan untuk Diterima) Kebutuhan
ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk
mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial,
kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa
menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk
tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup,
teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.
2.
Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan
atas Kemampuan)
Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk mencapai sesuatu, menjadi
kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita,
didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan
untuk dianggap berharga, bisa membuat perbedaan, bisa membuat pencapaian,
kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk
meninggalkan pengaruh.
3.
Kebebasan (Kebutuhan Akan
Pilihan)
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki
pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anakanak dengan kebutuhan
kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka
mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru
dan menarik.
4.
Kesenangan (Kebutuhan untuk
merasa senang)
Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan untuk mencari kesenangan, bermain,
dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan.
Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan
dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain.
Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting.
Manusia tidak berbeda. Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi
biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi
saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi
barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat
bertingkah laku buruk.
Ket : Pembelajaran Berpihak
kepada kebutuhan anak
E.
5
POSISI KONTROL
F.
Segitiga Restitusi
Restitusi adalah
proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka,
sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih
kuat (Gossen; 2004) Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan
murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang
orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus
memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi membantu murid
menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah
berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk
menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya
adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka
percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada
dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.
Ketiga strategi
tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu
tidak harus dilakukan satu persatu. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam
berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui
tentang teori restitusi.
1. Menstabilkan
Identitas/Stabilize the identity.
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang
yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang
sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan
2. Validasi
Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu
tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa
yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling
efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut Teori Kontrol semua tindakan
manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan tertentu. Seorang guru
yang memahami teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori
stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap
tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus
merengek, tapi bila sikap itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi
kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing
buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi
kebutuhan mereka
3. Menanyakan
Keyakinan/Seek the Belief
Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal.
Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah
telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan
nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan
keyakinan kelas atau keluarga.
Berikut
contoh penerapan segitiga restitusi di
SMA Negeri 1 pasie raja yang dilakukan oleh guru pengerak:
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan untuk memperkuat
budaya postif adalah Bersinergi dan berkolaborasi positif dengan berbagai
komunitas praktis, hal ini sangat penting dilakukan agar kekhawatir yang
ditimbulkan dapat diminimalisir dan juga mencari format terbaik dalam
membudayakan budaya positif di sekolah.
Keterangan
Foto : Diskusi Bersama Calon Guru Penggerak tetang budaya positif.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar