Demokrasi Liberal serta pengaruhnya terhadap
perkembangan politik, ekonomi, sosial –
budaya dan pendidikan di
Indonesia.
A.
Demokrasi
Liberal
Demokrasi
Liberal atau demokrasi Konstitusional adalah sistem politik yang melindungi
secara konstitusional (Undang – Undang Dasar) hak – hak individu dari kekuasaan
pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses
perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang
kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan
pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum
dalam konstitusi. Di Indonesia Demokrasi ini disebut juga dengan demokrasi
Parlementer yang mulai berjalan pada 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.
Demokrasi Liberal adalah suatu demokrasi yang
menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif.
Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan
menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam
demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.
Demokrasi Liberal sering disebut sebagai
demokrasi parlementer. Di indonesia demokrasi ini dilaksanakan setelah
keluarnya Maklumat Pemerintah NO.14 Nov.
1945. Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi liberal lebih
menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu
ataupun masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi
warganegara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain.Pada
periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut
Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Namun setelah negara RI dengan
UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama
hampir 9 tahun.
1.
Politik
Pada masa itu situasi politik
tidak stabil karena sering terjadi nya pergantian kabinet dan sering terjadi
pertentangan politik di antara partai-partai yang ada. Kabinet – kabinet yang memerintah di Indonesia. Kabinet-kabinet
yang pernah memerintah pada masa Demokrasi Parlementer di Indonesia adalah
Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951), Kabinet Soekiman (27 April
1951 – 3 April 1952), Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953), Kabinet Ali
Sastroamijojo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955), Kabinet Burhanudin Harahap
(12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II ( 20 Maret 1956
– 14 Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959). Selama
sembilan tahun terdapat tujuh kabinet, dan rata-rata satu kabinet hanya berumur
satu setengah tahun saja. Kinerja kabinet sering mengalami deadlock dan
ditentang oleh parlemen karena adanya kelompok oposisi yang kuat sehingga
mengakibatkan timbulnya konflik kepentingan dalam proses perumusan dan
pembuatan kebijakan negara. Sering bergantinya kabinet menjadi ciri utama dari
masa Demokrasi Liberal dan juga merupakan penyebab instabilitas politik.
Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan, parlemen mudah
mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang
ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Mosi yang diajukan untuk
menjatuhkan kabinet lain lebih tertuju untuk merebut kedudukan partai daripada
menyelamatkan masyarakat. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat
ditentukan oleh dukungan parlemen. Karena selalu terjadi pergantian kabinet,
hal ini mengakibatkan pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai
lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Rakyat pun mengalami
kesulitan karena adanya berbagai gangguan keamanan dan beratnya perekonomian
yang menimbulkan ketidakstabilan sosial-ekonomi.
Kehidupan politik di masa demokrasi parlementer
ditandai dengan gagalnya konstituante dalam membuat undang-undang baru bagi
Indonesia. Padahal konstituante sendiri adalah sebuah lembaga yang dibentuk
untuk membentuk UUD. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai gerakan-gerakan
yang mengancam ketertiban dan stabilitas keamanan Indonesia. Pada tanggal 20
November 1956, konstituante menetapkan untuk bersidang untuk pertama kalinya.
Soekarno memberikan kewenangan untuk menyusun dan menetapkan UUD Republik
Indonesia tanpa batas masa kerja. Semangat untuk bersatu dan merumuskan UUD
Indonesia ini berubah menjadi perasaan saling mementingkan kepentingan kelompok
sendiri. Selain itu, ada rintangan lain yang dihadapi konsituante, yaitu usulan
dari kalangan kelompok Islam untuk memasukkan kembali butir Piagam Jakarta yang
menyatakan "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" di dalam preambule dari UUD 1945, terjadi pada tanggal
29 Mei 1959. Jumlah anggota konsituante yang hadir mencapai 466 suara, dan demi
mencapai persetujuan untuk menyetujui usulan kalangan kelompok Islam, jumlah
suara yang setuju harus 2/3 dari total seluruh anggota yang hadir. 201 suara
menyatakan setuju, sedangkan 265 suara menolaknya, sehingga tidak tercapai
kuorum yang seharusnya. Pada 30 Mei 1959, diadakan sidang untuk membahas usulan
pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tanpa perubahan dan hasilnya tidak
tercapai keputusan yang mufakat. Jadi dilakukan proses pemungutan suara (voting),
tetapi tetap saja tidak mencapai kuorum karena 269 suara setuju dan 199 suara
menolak dari total 474 orang yang hadir. Pemungutan suara kembali diadakan pada
2 Juni 1959, tetapi tetap tidak memenuhi kuorum. Pada akhirnya, tanggal 3 Juni
1959, konstituante memutuskan untuk melaksanakan reses.
Faktor utama kegagalan konstituante adalah terdapat
sikap mementingkan kepentingan golongan atau partai politik yang berada di dalam
konstituante. Pada saat itu, ada tiga poros kekuatan partai politik utama,
yaitu kekuatan partai Islam, kekuatan partai Nasionalis, dan kekuatan partai
Komunis. Ketiganya tidak terdapat konsensus yang baik untuk merancang UUD
sehingga selalu gagal. Terdapat pula berbagai peristiwa politik pada konflik
kepentingan masing-masing kelompok politik di dalam tubuh konstituante.
Seperti, konflik antara NU, PNI, dan PKI tentang pemberlakuan kembali UUD 1945
dan penyertaan butir Piagam Jakarta di dalam UUD 1945. Permasalahan itu juga
diperkuat dengan adanya pengerahan massa untuk berdemonstrasi dan turun ke
jalan dalam memperjuangkan isu dan kepentingannya masing-masing.
Setelah negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat
memberlakukan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang selalu silih berganti
telah dialami rakyat Indonesia selama sepuluh tahun, maka rakyat Indonesia
sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan
negara Indonesia, karena tidak menjiwai Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya
Presiden menyatakan bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta menghalangi pencapaian tujuan
masyarakat adil dan makmur, sehingga diumumkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
mengakhiri masa parlementer, digunakan kembalinya UUD 1945, pembubaran
konstituante, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Masa sesudah ini lazim disebut
masa Demokrasi Terpimpin.
2.
Sosial
– Budaya
Demokrasi Liberal di Indonesia
merupakan suatu kesalahan yang fatal bagi masyarakat Indonesia. Kehidupan
masyarakat menjadi monoton yaitu untuk memperbutkan kekuasaan. Masing – masing
kelompok masyarakat yang merasa kurang puas dan tidak suka dengan kebijakan
pemerintah, mengambil tindakan yang impresif. Masyarakat dengan di ketuai oleh
orang – orang yang kecewa terhadap pemerintah secara teroganir melakukan
pemberontakan.
A. Gangguan
keamanan dalam negeri
1.
Pemberontakkan PKI Madiun (18 September 1948)
2.
Pemberontakkan DI/TII di Jawa Barat
3.
Pemberontakkan DI/TII di Aceh
4.
Pemberontakkan DI/TII di Kalimantan Selatan
5.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
6.
Pemberontakkan DI/TII di Jawa Tengah
7.
Pemberontakan Angkatan Peramg Ratu Adil (APRA)
8.
Pemberontakan Andi Azis di Makasar
9.
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
10. Pemberontakan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
11. Pemberontakan Piagam
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)
Dalam menghadapi pemilihan umum tahun 1955, partai politik membentuk
organisasi massa (ormas). Partai-partai kiri yang tidak duduk dalam
pemerintahan karena dapat menguasai massa diuntungkan karena keadaan
sosial-ekonomi yang semakin merosot. Tetapi dalam bidang budaya prestasi
pemerintah dianggap cukup berhasil untuk mencukupi tenaga terdidik dari
perguruan tinggi dan membuka banyak universitas di daerah-daerah, prestasi di
raih pula dalam bidang olahraga yaitu pada tahun 1958 bulan Juni, Indonesia
memenangkan piala Thomas Cup pada tahun 1958 oleh Tan Joe Hok alias Hendra
Kartanegara, dan berhasil menyelenggarakan konferensi Asia-Afrika 18 April -24
April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung. dengan sukses. Pemerintah Indonesia
juga mengeluarkan Deklarasi Djuanda pada tanngal 13 Desember 1957 tentang
wilayah perairan Indonesia.
3.
Ekonomi
Meskipun
Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk.
Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Faktor yang menyebabkan
keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1)
Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember
1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah
ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5
Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2)
Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar
5,1 Miliar.
3)
Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi
yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor
itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4)
Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia
melainkan dirancang oleh Belanda.
5)
Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk
mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6)
Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum
memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7)
Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung
banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah
Indonesia.
8)
Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran
pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9)
Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet
yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai
dirancang.
10) Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang
besar.
Masalah
jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
-
Mengurangi jumlah uang yang beredar
-
Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara
masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan
penduduk yang rendah.
Pada masa demokrasi liberal
dikeluarkan beberapa kebijakan ekonomi berikut ini :
a. Gunting Syafruddin
Guna mengatasi defisit anggaran dan mengurangi
peredaran uang, pada tanggal 20 maret 1950 Menteri keuangan Syafruddin
mengambil tindakan memotong uang dengan memberlakukan setengahnya untuk mata
uang yang bernilai Rp. 2,50,00 ke atas.
b. Nasionalisme de
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
Pada masa kabinet Sukiman, pemerintah berusaha untuk
mengatasi krisis moneter (keuangan). Salah satu upaya yang ditempuh adalah
menasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Lebih lanjut dalam
rangka menaikkan pendapatan, pemerintah berupaya menurunkan biaya ekspor dan
melakukan penghematan secara drastis.
c. Sistem ekonomi
Gerakan Benteng
Gerakan Benteng pada hakikatnya adalah suatu kebijakan
untuk melidungi usaha pribumi.Gerakan Benteng ini mengalami kegagalan karena
para pengusaha indonesia lambat dalam usahanya, bahkan ada yang menyalahgunakan
bantuan pemerintah. Selain itu, pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan
pengusaha nonpribumi dalam sistem ekonomi liberal.
d. Sistem Ekonomi
Ali-Baba
Tujuan sistem ekonomi Ali-Baba adalah untuk memajukan
pengusaha pribumi. Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi dan Baba sebagai
pengusaha nonpribumi. Sistem ekonomi Ali-Baba mengalami kegagalan karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman dan hanya dijadikan alat oleh pengusaha
nonpribumi untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
4. Pendidikan
Lahirnya
Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP) No.4 tahun 1950. Inilah
undang-undang pertama tentang pendidikan nasional di republik ini.9
Undang-undang
ini dikeluarkan di Jogjakarta, pada 4 April 1950, di saat Indonesia berbentuk
Republik Indonesia Serikat yang berlangsung sejak 27 Desember 1949 sampai dengan
17 Agustus 1950. Ketika era RIS berakhir dan kembali ke bentuk negara kesatuan
pada 17 Agustus 190, undang-undang tersebut kemudian berlaku secara Nasional,
yakni ke seluruh eks negara bagian RIS . Namun baru tahun 1954, melalui UU No.
12 tahun 1954 yang dikeluarkan pada 18 Maret 1954, ditetapkan pemberlakuan UU
PP No.4 tahun 1950 untuk seluruh Indonesia.
Keberadaan sekolah-sekolah swasta
baik yang bercirikan keagamaan maupun tidak, juga sudah tercantum dan diakui
secara formal dalam pasal 13 ayat 1 dan 2 dari UU ini:12
“Atas
dasar kebebasan
tiap-tiap warga negara menganut suatu agama atau keyakinan hidup maka kesempatan
leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah
partikulir”,(pasal 13 ayat 1). “Peraturan-peraturan yang khusus tentang
sekolah-sekolah partikulir ditetapkan dalam undangundang,” (pasal 13 ayat
2)
Pada masa demokrasi liberal, UUD sementara 1950 merupakan konstitusi
sementara Republik Indonesia. Meskipun begitu, pancasila tetap sebagai dasar
Negara dan pasal mengenai pendidikan rumusannya juga sama dengan pasal 30
konstitusi sementara RIS.
Tujuan
pendidikan, hal ini termaktub dalam UU No 12 tahu 1954. pasal 3 tentang tujuan
membentuk SDM berkualitas dan demokratis serta bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan Negara, pasal 4 tenteang pendidikan yang berazaskan pancasila dan
UUD serta sesuai budaya bangsa, dan pasal 5 tentang bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar.
UU No. 4 tahun 1950 berlaku menyeluruh dalam rangka Negara kesatuan pada
tanggal 18 Maret 1954, setelah menjadi UU No. 12 tahun 1954.
Sistem Persekolahan
disesuaikan dengan UU No. 12 tahun 1954
Pasal |
Ayat |
Jenis
Pendidikan |
6 |
1 |
Tentang
pembagian jenis pendidikan, yaitu Pendidikan dan Pengajaran TK, Rendah,
Menengah dan Tinggi |
6 |
2 |
Tentang
Pendidikan dan Pengajaran SLB untuk mereka yang memiliki kekhususan. |
7 |
1 |
Tentang
Pendidikan dan Pengajaran TK sebagai persiapan sekolah dasar. |
7 |
2 |
Tentang
Pendidikan dan Pengajaran untuk pembentukan rohani, pengembangan bakat dan
minat, serta pemberian dasar pengetahuan. |
7 |
3 |
Tentang
Pendidikan dan Pengajaran Menengah untuk memperluas wawsan dan mempersiapkan
untuk terjun ke masyarakat. |
7 |
4 |
Tentang
Pendidikan dan Pengajaran Tinggi untuk memperdalam ilmu dam memajukannya,
serta mencetak para pemimpin. |
7 |
5 |
Tentang
Pendidikan dan Pengajaran Luar Biasa bagi peserta pendidikan yang mempunyai
kekurangan jasmani atau rohani. |
25 Agustus 1950 terjadi perubahan berdasarkan
Pengumuman Mentri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan NKRI No 1983/I-A/1950
tentang perubahan nama sekolah, lama jenjang, kurikulum, tata penyelenggaraan
pendidikan dan bahasa pengantar pendidikan. Contohnya, NIEUWE KS menjadi SGA,
SR Negeri menjadi sekolah biasa dengan bahasa pengantar B. Indonesia, lama
belajar SMP Negeri menjadi tiga tahun dan sebagainya.
a. Persiapan Kewajiban belajar
Tahun 1950 diadakan kursus pengajar
untuk Kursus Pengantar ke Kewajiban Belajar (KPKPKB). Tahun 1953 KPKPKB diganti
menjadi SGB. selain KPKPKB,pendidikan guru lainnya yaitu:
1)
Sekolah Guru untuk Sekolah Dasar, seperti SGB dan SGPD.
2)
Sekolah Guru untuk Sekolah Lanjutan, seperti SGA dan PGSLP.
3)
Kursus BI dan BII untuk guru sekolah menengah atas.
b. PP No. 65 tahun 1951
Menetapkan tugas dan Kewajiban
Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan untuk menyelenggarakan sekolah
rendah, memberi subsidi pendidikan, menyelenggarakan kursus pengetahuan umum,
memberikan sarana belajar seperti perpustakaan, menjadi penghubung pemerintah
dengan pemuda dan memaju8kan seni daerah.
c. Pendidikan Agama
Peraturan bersama Mentri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan dengan Mentri Agama No. 17678/Kab. tanggal 16
Juli 1951 berisi tentang penetapan diwajibkan adanya pendidikan agama, tata
penyelenggaraan pendidikan dan kualifikasi guru pengajarnya.
d. Pendidikan Masyarakat
Untuk menambah pendidikan dan keterampilan
kerja masyarakat didirikan beberapa kursus, seperti kursus pengasuh pendidikan
masyarakat setelah tamat SD, Kursus penjenjang Pendidikan Masyarakat setelah
tamat SMP, Kursus pemilik Pendidikan setelah tamat SMA dan pusat latihan
pendidikan masyarakat.
e. Partisipasi Pendidikan Swasta
makin maraknya sekolah swasta
berdiri, tidak hanya sekolah bercirikan agama, tapi sekolah yang netral pun
makin banyak.
Universitas
mengalami perkembangan, seperti Universitas Indonesia yang berdiri tahun 1849,
pada tahun 1954 dimulai perkembangan dengan penambahan beberapa Fakultas
tertentu, seperti Fakultas-fakultas yang berada di luar Jakarta kemudian
berkembang menjadi universitas-universitas terpisah di antara tahun
1954-1963. Universitas Indonesia di Jakarta mempunyai kampus di Salemba
dan terdiri dari beberapa Fakultas seperti: Kedokteran, Kedokteran Gigi,
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Sastra, Hukum, Ekonomi, dan Tehnik.
Kemudian ITB yang berdiri 3 Juli 1920 dengan nama Technische Hoogeschool te
Bandoeng, kemudian 2 Maret 1959 berubah dengan
nama ITB. Tanggal 21 April 1958, Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA)
dibentuk dengan tujuan mengadakan pembangunan dalam bidang rohani dan jasmani
guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. YDKA pada
awalnya dipimpin oleh Bupati M. Husen, Kepala Pemerintahan Umum pada Kantor
Gubernur pada waktu itu, yang kemudian dipimpin oleh Gubernur Ali Hasjmy. YDKA
menyusun program antara lain: a. Mendirikan perkampungan pelajar/mahasiswa di
ibukota provinsi dan setiap kota kabupaten dalam wilayah Aceh. b. Mengusahakan
berdirinya satu Universitas untuk daerah Aceh.
Sejarah
perkembangan Universitas Negeri Semarang yang sebelumnya bernama IKIP Semarang
telah dimulai dengan berdirinya berbagai lembaga pendidikan guru di atas SMTA.
Lembaga-lembaga pendidikan guru tersebut adalah: Middelbaar Onderwijzer A
Cursus (MO-A) dan Middelbaar Onderwijzer B Cursus (MO-B). Keduanya merupakan
lembaga pendidikan yang disiapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang
bertujuan untuk menyiapkan guru-guru SMTP dan SMTA. Kursus MO-A dan MO-B
diselenggarakan di Semarang sampai dengan tahun 1950. Dengan Peraturan
Pemerintah No. 41/1950, Kursus MO-A dijadikan Kursus B-I dan Kursus MO-B
dijadikan Kursus B-II yang diselenggarakan sampai dengan tahun 1960.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar